Renungan Dari Abu 'Ubaidah Ibnul Jarrah r.a | KISMATku - KISAH MANFAAT

Renungan

Dalam waktu relatif singkat, Islam berhasil memurnikan kejiwaan umat Islam dan menghilangkan cemar dan kotoran yang semula bermukim dalam batinnya, sehingga ia menjadi manusia baru, tidak berbohong, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berkhianat, tidak curang, tidak suka memata-matai orang lain, ikhlas kepada aqidahnya lebih dari ikhlashnya kepada dirinya, patuh kepada perintah Allah dan RasulNya, setia kawan dan cinta kepada sesama saudaranya dalam Islam lebih dari setia kawannya terhadap keluarga dan kerabat sendiri, selama mereka tidak Islam.

 Ketika firman Allah dalam surah at-Taubah ayat 24 diturunkan (Katakanlah, 'jika ayah-ayah, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalannya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq'). Sejak itulah kaum Muslimin mengesampingkan semua kelezatan. Kelemahan insani terhadap ayah, anak, isteri, keluarga, harta kekayaan dan semua tuntutan hajat kemanusiaan, mereka letakkan semua itu diatas piring timbangan; kecintaaan kepada Allah, RasulNya, dan jihad di jalan Allah, mereka letakkan diatas piring timbangan yang lain. Ternyata, kecintaan mereka lebih berat kepada yang kedua. Dengan sendirinya, jiwa mereka menjadi terhormat dan meningkat, tidak suka bergelimang dengan nafsu hewani dan melepaskan diri dari keterikatan sifat bumi.

 Berikut ini contoh-contoh yang kami kutip dari sejarah kaum muslimin.

1.   Umar bin Sa'ad diasuh oleh bapak tirinya, Jullas bin Suwaid ibnush Shamit, setelah ayahnya wafat.

Pada suatu hari, ia mendengar Jullas menyerang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dengan kata-kata yang pedas, lalu ia menegur ayah tirinya itu, "Demi Allah, ya Jullas, engkau orang yang paling aku cintai, orang yang paling murah hati dan orang yang paling aku sayang jangan sampai terkena malapetaka. Akan tetapi, engkau mengatakan kata-kata yang menyakitkan hatiku. Kalau aku melawanmu, itu akan membuat kamu malu, tapi kalau aku diam, agamaku akan rusak dan kedua-duanya berat bagiku…"

Ia lalu meninggalkan rumahnya, pergi kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan memberitahukan soal Jullas kepada beliau. Demikianlah ia memenangkan ikatan agama diatas ikatan kekeluargaan dan dunia, meskipun ia menghadapi risiko kekurangan dan kelaparan.

2.   Ketika Zaid bin Datsinah hgendak dibunuh oleh kaum Quraisy, Abu Sufyan bin Harb menawarkan pembebasan kepadanya, "aku mengharap kau menjawab karena Allah, ya Zaid! Apakah kau senang sekiranya Muhammad ada disini menggantikan tempatmu dan kami penggal batang lehernya sedangkan kau akan kami bebaskan tinggal bersama keluargamu?".

Zaid menjawab dengan tegas, "Demi Allah, aku tidak suka Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam terikena tusukan sebuah duri sekalipun dan kau bebas di tengah-tengah keluargaku".

Komentar Abu Sufyan kepada kawan-kawannya, "aku belum pernah melihat seseorang yang mencintai orang lain seperti para shahabat Muhammad kepada Muhammad".

Kemudian mereka membunuh Zaid .  Zaid syahid, namun, "sekolah keimanan" berhasil mengeluarkan ribuan kaum muslimin yang men cintai agama dan RasulNya lebih dari dirinya sendiri.

3.   Dalam sebuah pertempuran, seorang Anshar bertengkar dengan seorang Muhajirin, lalu Abdullah bin Ubay, tokoh tertinggi kaum munafik, mengancamnya, "kalau kami kembali ke Madinah kelak, orang yang merasa dirinya terhormat akan diusir keluar oleh orang yang dihinakannya".

Banyak orang Islam menawarkan diri untuk membunuh Abdullah bin Ubay, tetapi Rasulullah selalu menolaknya. Sabdanya kepada Umar ibnul Khaththab, "ya Umar, bagaimana kata bangsa Arab kelak, Muhammad membunuh shahabatnya sendiri".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lalu memanggil putra Abdullah bin Ubay seraya bertanya, "apakah kau mendengar apa yang dikatakan ayahmu?".

Ia balik bertanya keheranan, "apa katanya, ya Rasulullah?".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Dia mengatakan, 'kalau kami kembali ke Madinah kelak, orang yang merasa dirinya terhormat akan diusir keluar oleh orang yang dihinakannya".

Ia lalu berkata dengan gusar, "Allah dan RasulNya Maha benar, dan engkau, ya Rasulullah, demi Allah adalah orang terhormat dan mulia, dan dia adalah orang yang terhina. Sebenarnya penduduk kota Yatsrib tahu bahwa tidak seorang pun yang paling kasih sayang kepada kedua orang tuanya lebih dari aku, namun kalau Allah dan RasulNya menghendaki, aku siap membawa kepala keduanya kesini".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : "jangan!".

Ketika pasukan kembali ke Madinah, Abdullah bin Abdullah bin Ubay berdiri di pintu masuk kota Madinah dengan pedang terhunus, menantikan kedatangan ayahnya, seraya berkata, "ayahkah yang mengatakan, kalau kami kembali ke Madinah kelak,  orang yang merasa dirinya terhormat akan diusir keluar oleh orang yang terhina? Demi Allah, kini, ayah akan mengetahui apakah orang yang terhormat itu ayah atau Rasulullah. Demi Allah, aku tidak akan memperkenankan ayah masuk kota kecuali dengan izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam …".

Abdullah bin Ubay melaporkan hal itu kepada kabilahnya, al-Khazraj, "anakku melarangku kembali ke rumah!". Ia mengulang kata-katanya dengan sedih.

Berdatanganlah kaum muslimin kepada sang putra Abdullah bin Ubay supaya ia memperkenankan ayahnya masuk kota dan kembali ke rumahnya. Akan tetapi, ia malah bersikeras, "Demi Allah, dia tidak akan bisa masuk kota Madinah kecuali dengan izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ".

Beberapa orang mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan memberitahukan peristiwa tersebut. Rasulullah bersabda, "pergilah dan katakan kepadanya supaya ayahnya dibiarkan kembali ke rumahnya!".

Sesudah ia mendengar perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berulah ia membiarkan ayahnya masuk ke dalam kota dan kembali ke rumahnya, seraya berkata, "kalau perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengizinkan ia masuk, baiklah!".

Kejadian semacam itu tidak hanya terjadi di kalangan kaum lelaki saja, tetapi di kalangan kaum perempuannya juga.

4.   Pada suatu waktu, Abu Sufyan pergi ke Madinah karena ada suatu urusan dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Ia pergi menemui puterinya yang juga isteri Rasulullah, Ummu Habibah. Setiba di sana, ia hendak duduk diatas sebuah permadani, tetapi Ummu Habibah menarik dan melipatnya. Abu Sufyan keget dan gusar, "puteriku! Aku tidak mengerti, apakah kau lebih menghargai ayahmu atau permadani itu?".

"Bukan begitu, Ia permadani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan ayah seorang musyrik dan najis", jawab Ummu Habibah.

Begitulah sikap wanita muslimah terhadap ayahnya sendiri, dihadapi dengan kata-kata benar dan tegas, menggugurkan pribahasa "semua wanita kagum pada ayahnya".

Ia tampar hakikat sikap ayahnya; orang-orang yang musyrik itu najis "at-Taubah:28).

Jadi, selama ia tetap pada sikapnya, tidak mungkin ia menyentuh permadani itu, apalagi duduk diatasnya, meskipun ia bernama ayah yang memiliki berbagai hak dan kewajiban utama.

Bukan semata-mata cinta, bukan hanya penghormatan dan sopan santun di depan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang mereka berikan karena beliau telah mengeluarkan mereka dari kegelapan kekafiran menuju cahaya keimanan, berjasa membebaskan mereka dari penyembahan berhala kepada penyembahan Yang Maha Satu, malah lebih hebat dari itu, mereka mempersembahkan nyawanya murah sekali demi melindungi Rasulullah.

5.   Dalam perang Uhud, Abu Dujanah menjadikan punggungnya sebagai perisai, melindungi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dari serangan panah musuh. Ia tidak bergerak sedikit pun hingga Rasulullah berhasil diselamatkan. Apabila beliau selamat, mereka tidak mengindahkan apakah anak panah tersebut mengenai perut atau punggungnya.

Itulah yang mereka lakukan terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Begitu pula mereka lakukan dalam membela agama, mereka tidak mempedulikan apa pun selain ingin memenangkan agama itu, ingin meninggikan kalimat Allah Ta'ala, berapapun harga yang harus dibayar. Apa yang terjadi dalam perang Badar adalah suatu bukti kesetiaan mereka terhadap agamanya, meskipun harus berhadapan dengan ayah, anak,  saudara dan keluarga demi mempertahankan prinsip.

Abu Bakar ash-Shiddiq di barisan kaum muslimin, sedangkan putranya, Abdurrahman, di pihak kaum musyrikin; begitu pula Utbah bin Rabi'ah bersama kaum Quraisy, sedangkan putranya, Abu Huzaifah, bersama kaum muslimin.

Abdurrahman bin Abu Bakar berkata kepada ayahnya sesudah masuk Islam, "ayah selalu mengincarku dalam perang Badar dan aku selalu mengelak".

Ayahnya menjawab, "Demi Allah, kalau aku bertemu dengan kau, aku tidak akan mengelak".

Dalam peperangan ini, Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah membunuh ayah kandungnya. Bukan karena ia ingin membunuh ayah kandungnya, tetapi karena ia seorang musyrik. Ketika ia mengayunkan pedangnya, seolah-olah  ia menebas dan menumbangkan sebuah patung berhala, menumpas kesesatan yang menguasai umat manusia beberapa lamanya sehingga terjerumus mengabdikan diri kepada batu, pepohonan, bintang, dukun, jin dan lain-lain, dan memperkenalkan keimanan yang sebenarnya ke jalan yang menembus kalbu.

Kapan gerangan kaum muslimin melahirkan Abu 'Ubaidah baru, yang menuympas fanatisme, berhalaisme dan memerangi ateisme, yang akan melenyapkan jahiliah modern di abad XXI ini. Siapa gerangan orangnya yang akan memainkan perannya dengan bimbingan Ilahi?.




Renungan Dari Abu 'Ubaidah Ibnul Jarrah r.a | KISMATku


Renungan

Dalam waktu relatif singkat, Islam berhasil memurnikan kejiwaan umat Islam dan menghilangkan cemar dan kotoran yang semula bermukim dalam batinnya, sehingga ia menjadi manusia baru, tidak berbohong, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berkhianat, tidak curang, tidak suka memata-matai orang lain, ikhlas kepada aqidahnya lebih dari ikhlashnya kepada dirinya, patuh kepada perintah Allah dan RasulNya, setia kawan dan cinta kepada sesama saudaranya dalam Islam lebih dari setia kawannya terhadap keluarga dan kerabat sendiri, selama mereka tidak Islam.

 Ketika firman Allah dalam surah at-Taubah ayat 24 diturunkan (Katakanlah, 'jika ayah-ayah, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalannya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq'). Sejak itulah kaum Muslimin mengesampingkan semua kelezatan. Kelemahan insani terhadap ayah, anak, isteri, keluarga, harta kekayaan dan semua tuntutan hajat kemanusiaan, mereka letakkan semua itu diatas piring timbangan; kecintaaan kepada Allah, RasulNya, dan jihad di jalan Allah, mereka letakkan diatas piring timbangan yang lain. Ternyata, kecintaan mereka lebih berat kepada yang kedua. Dengan sendirinya, jiwa mereka menjadi terhormat dan meningkat, tidak suka bergelimang dengan nafsu hewani dan melepaskan diri dari keterikatan sifat bumi.

 Berikut ini contoh-contoh yang kami kutip dari sejarah kaum muslimin.

1.   Umar bin Sa'ad diasuh oleh bapak tirinya, Jullas bin Suwaid ibnush Shamit, setelah ayahnya wafat.

Pada suatu hari, ia mendengar Jullas menyerang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dengan kata-kata yang pedas, lalu ia menegur ayah tirinya itu, "Demi Allah, ya Jullas, engkau orang yang paling aku cintai, orang yang paling murah hati dan orang yang paling aku sayang jangan sampai terkena malapetaka. Akan tetapi, engkau mengatakan kata-kata yang menyakitkan hatiku. Kalau aku melawanmu, itu akan membuat kamu malu, tapi kalau aku diam, agamaku akan rusak dan kedua-duanya berat bagiku…"

Ia lalu meninggalkan rumahnya, pergi kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan memberitahukan soal Jullas kepada beliau. Demikianlah ia memenangkan ikatan agama diatas ikatan kekeluargaan dan dunia, meskipun ia menghadapi risiko kekurangan dan kelaparan.

2.   Ketika Zaid bin Datsinah hgendak dibunuh oleh kaum Quraisy, Abu Sufyan bin Harb menawarkan pembebasan kepadanya, "aku mengharap kau menjawab karena Allah, ya Zaid! Apakah kau senang sekiranya Muhammad ada disini menggantikan tempatmu dan kami penggal batang lehernya sedangkan kau akan kami bebaskan tinggal bersama keluargamu?".

Zaid menjawab dengan tegas, "Demi Allah, aku tidak suka Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam terikena tusukan sebuah duri sekalipun dan kau bebas di tengah-tengah keluargaku".

Komentar Abu Sufyan kepada kawan-kawannya, "aku belum pernah melihat seseorang yang mencintai orang lain seperti para shahabat Muhammad kepada Muhammad".

Kemudian mereka membunuh Zaid .  Zaid syahid, namun, "sekolah keimanan" berhasil mengeluarkan ribuan kaum muslimin yang men cintai agama dan RasulNya lebih dari dirinya sendiri.

3.   Dalam sebuah pertempuran, seorang Anshar bertengkar dengan seorang Muhajirin, lalu Abdullah bin Ubay, tokoh tertinggi kaum munafik, mengancamnya, "kalau kami kembali ke Madinah kelak, orang yang merasa dirinya terhormat akan diusir keluar oleh orang yang dihinakannya".

Banyak orang Islam menawarkan diri untuk membunuh Abdullah bin Ubay, tetapi Rasulullah selalu menolaknya. Sabdanya kepada Umar ibnul Khaththab, "ya Umar, bagaimana kata bangsa Arab kelak, Muhammad membunuh shahabatnya sendiri".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lalu memanggil putra Abdullah bin Ubay seraya bertanya, "apakah kau mendengar apa yang dikatakan ayahmu?".

Ia balik bertanya keheranan, "apa katanya, ya Rasulullah?".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Dia mengatakan, 'kalau kami kembali ke Madinah kelak, orang yang merasa dirinya terhormat akan diusir keluar oleh orang yang dihinakannya".

Ia lalu berkata dengan gusar, "Allah dan RasulNya Maha benar, dan engkau, ya Rasulullah, demi Allah adalah orang terhormat dan mulia, dan dia adalah orang yang terhina. Sebenarnya penduduk kota Yatsrib tahu bahwa tidak seorang pun yang paling kasih sayang kepada kedua orang tuanya lebih dari aku, namun kalau Allah dan RasulNya menghendaki, aku siap membawa kepala keduanya kesini".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : "jangan!".

Ketika pasukan kembali ke Madinah, Abdullah bin Abdullah bin Ubay berdiri di pintu masuk kota Madinah dengan pedang terhunus, menantikan kedatangan ayahnya, seraya berkata, "ayahkah yang mengatakan, kalau kami kembali ke Madinah kelak,  orang yang merasa dirinya terhormat akan diusir keluar oleh orang yang terhina? Demi Allah, kini, ayah akan mengetahui apakah orang yang terhormat itu ayah atau Rasulullah. Demi Allah, aku tidak akan memperkenankan ayah masuk kota kecuali dengan izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam …".

Abdullah bin Ubay melaporkan hal itu kepada kabilahnya, al-Khazraj, "anakku melarangku kembali ke rumah!". Ia mengulang kata-katanya dengan sedih.

Berdatanganlah kaum muslimin kepada sang putra Abdullah bin Ubay supaya ia memperkenankan ayahnya masuk kota dan kembali ke rumahnya. Akan tetapi, ia malah bersikeras, "Demi Allah, dia tidak akan bisa masuk kota Madinah kecuali dengan izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ".

Beberapa orang mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan memberitahukan peristiwa tersebut. Rasulullah bersabda, "pergilah dan katakan kepadanya supaya ayahnya dibiarkan kembali ke rumahnya!".

Sesudah ia mendengar perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berulah ia membiarkan ayahnya masuk ke dalam kota dan kembali ke rumahnya, seraya berkata, "kalau perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengizinkan ia masuk, baiklah!".

Kejadian semacam itu tidak hanya terjadi di kalangan kaum lelaki saja, tetapi di kalangan kaum perempuannya juga.

4.   Pada suatu waktu, Abu Sufyan pergi ke Madinah karena ada suatu urusan dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Ia pergi menemui puterinya yang juga isteri Rasulullah, Ummu Habibah. Setiba di sana, ia hendak duduk diatas sebuah permadani, tetapi Ummu Habibah menarik dan melipatnya. Abu Sufyan keget dan gusar, "puteriku! Aku tidak mengerti, apakah kau lebih menghargai ayahmu atau permadani itu?".

"Bukan begitu, Ia permadani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan ayah seorang musyrik dan najis", jawab Ummu Habibah.

Begitulah sikap wanita muslimah terhadap ayahnya sendiri, dihadapi dengan kata-kata benar dan tegas, menggugurkan pribahasa "semua wanita kagum pada ayahnya".

Ia tampar hakikat sikap ayahnya; orang-orang yang musyrik itu najis "at-Taubah:28).

Jadi, selama ia tetap pada sikapnya, tidak mungkin ia menyentuh permadani itu, apalagi duduk diatasnya, meskipun ia bernama ayah yang memiliki berbagai hak dan kewajiban utama.

Bukan semata-mata cinta, bukan hanya penghormatan dan sopan santun di depan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang mereka berikan karena beliau telah mengeluarkan mereka dari kegelapan kekafiran menuju cahaya keimanan, berjasa membebaskan mereka dari penyembahan berhala kepada penyembahan Yang Maha Satu, malah lebih hebat dari itu, mereka mempersembahkan nyawanya murah sekali demi melindungi Rasulullah.

5.   Dalam perang Uhud, Abu Dujanah menjadikan punggungnya sebagai perisai, melindungi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dari serangan panah musuh. Ia tidak bergerak sedikit pun hingga Rasulullah berhasil diselamatkan. Apabila beliau selamat, mereka tidak mengindahkan apakah anak panah tersebut mengenai perut atau punggungnya.

Itulah yang mereka lakukan terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Begitu pula mereka lakukan dalam membela agama, mereka tidak mempedulikan apa pun selain ingin memenangkan agama itu, ingin meninggikan kalimat Allah Ta'ala, berapapun harga yang harus dibayar. Apa yang terjadi dalam perang Badar adalah suatu bukti kesetiaan mereka terhadap agamanya, meskipun harus berhadapan dengan ayah, anak,  saudara dan keluarga demi mempertahankan prinsip.

Abu Bakar ash-Shiddiq di barisan kaum muslimin, sedangkan putranya, Abdurrahman, di pihak kaum musyrikin; begitu pula Utbah bin Rabi'ah bersama kaum Quraisy, sedangkan putranya, Abu Huzaifah, bersama kaum muslimin.

Abdurrahman bin Abu Bakar berkata kepada ayahnya sesudah masuk Islam, "ayah selalu mengincarku dalam perang Badar dan aku selalu mengelak".

Ayahnya menjawab, "Demi Allah, kalau aku bertemu dengan kau, aku tidak akan mengelak".

Dalam peperangan ini, Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah membunuh ayah kandungnya. Bukan karena ia ingin membunuh ayah kandungnya, tetapi karena ia seorang musyrik. Ketika ia mengayunkan pedangnya, seolah-olah  ia menebas dan menumbangkan sebuah patung berhala, menumpas kesesatan yang menguasai umat manusia beberapa lamanya sehingga terjerumus mengabdikan diri kepada batu, pepohonan, bintang, dukun, jin dan lain-lain, dan memperkenalkan keimanan yang sebenarnya ke jalan yang menembus kalbu.

Kapan gerangan kaum muslimin melahirkan Abu 'Ubaidah baru, yang menuympas fanatisme, berhalaisme dan memerangi ateisme, yang akan melenyapkan jahiliah modern di abad XXI ini. Siapa gerangan orangnya yang akan memainkan perannya dengan bimbingan Ilahi?.




No comments

Subscribe Our Newsletter