Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah radhiallâhu 'anhu
" Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah
orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga
pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha
terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka
itulah golongan Allah.Ketahuilah, bhwa sesungguhnya golongan Allah itulah
golongan yang beruntung ". (Q.,s.58/al-Mujaadalah:22).
Menurut beberapa ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan
berkenaan dengan Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah.
Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah
Ibnul Jarrah adalah seoerang panglima yang cerita kemenangan
dan suksesnya menjadi pembicaraan dunia. Ia adalah seorang yang mengesampingkan
gemerlapnya dunia yang palsu dan menerjunkan dirinya ke dalam berabagai medan
perang mencari mati syahid, tetapi selalu saja Allah memberinya hidup.
Dia seorang yang kuat yang dapat dipercaya, yang pernah
dipilih oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjadi guru di Najran dan
salah seorang diantara sepuluh orang yang dinyatakan akan mendapatkan surga.
Dia adalah soerang panglima yang pernah memohon kepada Allah
supaya hari terakhirnya ditentukan di tengah-tengah tentaranya. Allah berkenan
mengabulkan permohonannya itu.
Itulah garis-garis besar kepribadian amiinul ummah
"kepercayaan umat Islam", Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah, penyebar kalimat
"Allahu Akbar" di negeri Syam dan sekitarnya.
Ada orang yang bertanya kepada Abdullah bin Umar,
"bagaimana dengan Ibnul Jarrah?".
"Rahimahullah! Dia seorang yang selalu berwajah cerah,
baik akhlaknya dan seorang pemalu", jawab Abdullah.
Sejarah tidak mencatat masa-masa mudanya bersama dengan
rekan-rekan sebayanya, tetapi sejarah merekam semua langkahnya ketika menuju ke
Baitul Arqam, bergabung dengan kelompok orang-orang Mukmin yang telah memilih
Islam sebagai agamanya, beriman kepada Allah sebagai Tuhannya, dan menerima
Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai nabi dan rasulNya.
Menurut sejarah, Ibnul Jarrah tergolong orang pertama y ang
menyambut seruan Islam. Ia bersama beberapa orang rekannya; Utsman bin Mazh'un,
'Ubaidah ibnul Harits bin Abdul Muththalib, Abdurrahman bin Auf, dan Abu
Salamah bin Abdul Asad, pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
sebelum beliau membukan sekolah dan dakwahnya di Darul Arqam. Beliau menawarkan
Islam kepada mereka dan membentangkan apa-apa yang berkenaan dengan agama itu,
lalu mereka menerima tawaran itu dengan puas dan ikhlas. Sejak saat itulah, ia
dan rekan-rekannya itu menjadi manusia baru, seakan-akan terputus hubungannya
dengan manusia lama yang bergelimang kejahiliahan dalam keyakinan dan
penyembahan berhala.
Pada waktu kaum Quraisy memaklumkan perang terhadap kelompok
orang mukmin yang tiada berdaya dan berdosa, dengan melakukan pengejaran dan
penyiksaan di luar abatas kemanusiaan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
memberikan izin kepada kelompok itu berhijrah ke Habasyah. Diantara para
Muhajirin yang menyelamatkan agamanya dari keganasan kaum Quraisy itu ialah Abu
'U baidah ibnul Jarrah.
Meskipun sambutan dan penerimaan raja Habasyah sangat baik
terhadap mereka, mereka diterima dengan hormat dan didekatkan dari majelisnya,
semua kebutuhan dan hajat keluarganya dipenuhi, baik moral maupun material,
namun semua itu tidak berarti bagi mereka daripada kehidupan di dekat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ; setiap hari mengikuti pelajaran dan
bimbingannya, dalam upaya mempertebal keimanannya. Tidaklah heran, ketika
mereka mendengar berita bahwa telah dicapai kesepakatan antara Muhammad dan
kaum Quraisy, berita gembira itu membangkitkan semangat mereka untuk
segera pulang kembali ke Mekkah tanpa mengecek kebenarannya lagi.
Setibanya
mereka disana, mereka malah mendapat penyiksaan yang lebih ganas dari kaum
Quraisy, sampai ada diantaranya yang tewas oleh dendam hitam yang memenuhi
lubuk hati musuh terhadap tunas dakwah yang baru merintis itu.
Akibat teror ganas kaum Quraisy itu, penduduk kota Mekkah
hidup dalam ketakutan dan kegelisahan yang tiada terperikan. Ibnul Jarrah tak
lama tinggal di Mekkah, begitu pula rekan-rekannya yang lain. Kaum Quraisy
mengetahui bahwa Muhammad berhasil keluar menembus kepungannya dan pergi
berhijrah ke Yatsrib, tempat yang dijadikan model dan landasan bertolak nya Islam
dan kaum Muslimin, negara tempat menggembleng para pahlawan, negarawan, alim
ulama yang akan dilepaskan ke seluruh penjuru dunia untuk membimbing dan
memimpin umat manusia ke jalan Tuhan Yang Maha Satu, dengan rasa puas dan
ikhlas.
Jalan antara Mekkah dan Yatsrib menjadi saksi ketika Ibnul
Jarrah melepaskan kendali kudanya menggulung bumi dan bersaing dengan angin,
mengikuti jejak rekan-rekannya yang sudah mendahuluinya ke Yatsrib.
Ketika sampai di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di Madinah, ia
hampir tidak dikenal lagi karena debu padang pasir yang ditempuh tanpa henti
hampir menutupi wajahnya. Setiba di sana, ia disambut baik oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam dan dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Mu'az.
Saad bin Mu'az adalah orang yang telah mempersembahkan diri
dan harta bendanya di jalan Allah dan tidak sudi berkompromi dengan kaum
Yahudi, sesudah mereka mengkhianati perjanjian yang sudah mereka tanda tangani
bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, sehingga ia terluka parah
dalam perang Ahzab. Ia memohon kepada Allah Ta'ala agar jangan dimatikan
sebelum matanya puas melihat Yahudi Bani Quraizhah dihukum. Ternyata, Allah
mengabulkan doanya. Bani Quraizhah menolak keputusan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam dan minta diputuskan oleh Sa'ad bin bin Mu'az, bekas sekutu
mereka. Akhirnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam meminta supaya Sa'ad
memberikan keputusannya. Diputuskanlah; semua laki-laki Bani Quraizhah dibunuh,
kaum wanita dan anak-anaknya ditawan dan harta bendanya dirampas.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkomentar atas
keputusan Sa'ad itu, "engkau telah memberikan keputusan dengan hukum Allah
dari atas langit yang ke tujuh".
Sejak menginjakkan kakinya di Yatsrib, sejak itu pulalah Abu
'Ubaidah mnganggap bumi itu sebagai tanah air agama dan dirinya yang harus
dipertahankan mati-matian. Ia melakukan tugas kewajibannya dengan penuh
kesadaran dan tanggung jawab. Hal ini terlihat dari tidak pernah absennya di
semua peperangan bersama dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam .
Dalam perang Badar, ia selaku tentara, harus senantiasa patuh
kepada perintah panglimanya. Sebagai seorang mukmin, ia mempunyai pandangan,
sikap dan garis tegas yaitu bahwa semua yang berperang di bawah panji Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam yang mengucapkan kalimat tauhid, mereka adalah
saudara, keluarga dan kawan-kawannya, meskipun berbeda asal-usul, warna kulit
dan darahnya. Semua yang berperang di bawah bendera Quraisy atau sekutu mereka,
mereka adalah musuh aqidah dan lawan dirinya, meskipun mereka keluarga
terdekatnya.
Dengan logika dan pemahaman seperti itu terhadap aqidah dan
agamanya, dan perannya sebagai seorang mukmin, maka ketika ia melihat ayahnya
ikut menghunus pedang di tengah-tengah pasukan kaum musyrikin, membunuh
saudara-saudaranya sesama mukmin, majulah ia menghampirinya, tetapi ayahnya
menghindarinya. Walaupun demikian, ia mengejarnya dan memberikan pukulan yang
mematikan.
Ayahnya adalah kafir, menyekutukan Tuhannya dengan yang lain;
kafir terhadap Tuhan Yang menciptakannya; ia mengangkat senjata hendak menumpas
agama Tuhannya dan para pendukung agama tersebut. Oleh karena itu, ia sudah
tidak berguna lagi bagi Tuhannya. Siapa yang hidupnya sudah tidak berguna bagi
Tuhannya niscaya tidak berguna juga bagi seluruh umat manusia.
Dalam perang Uhud, ketika peperangan itu sudah mencapai
puncaknya, dimana pihak musuh sudah berhasil mengepung ketat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam dan menjadikan beliau sebagai sasaran tunggal anak
panah dan senjata lainnya, Abu 'Ubaidah dan beberapa orang rekannya menghunus
pedangnya untuk melindungi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dari
serangan ganas musuh sehingga darah mengucur dari wajah beliau dan beliau
mengusahpnya dengan tangan kanannya seraya mengucapkan, "Bagaimana suatu
kaum akan menang sedangkan mereka membiarkan nabi yang menuntunnya kepada
Tuhannya lerluka wajahnya?".
Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallâhu 'anhu melukiskan peran yang
dimainkan Abu 'Ubaidah dalam perang Uhud itu, "pada waktu itu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam terkena dua kali bidikan anak panah pada tulang
pipinya, lalu aku segera pergi menghampirinya. Ternyata dari sebelah timur ada
orang lain yang mendahuluiku, menghampirinya dengan cepat pula. Aku berkata, "Ya
Allah, jadikanlah hal itu sebagai kepatuhan kepada Mu".
Sesudah itu, sampailah aku di dekat Rasulullah. Aku melihat
Abu 'Ubaidah sudah sampai terlebih dahulu, lalu ia berkata, "Ya Abu Bakar,
aku mohon kau membiarkan aku melepaskan panah itu dari wajah Rasulullah
!". Aku membiarkan Abu 'Ubaidah melepaskan mata anak panah itu
dengan gigi depannya dan ia berhasil mencabutnya, tetapi ia terjatuh ke tanah
dan giginya pun patah.
Selanjutnya, ia mencabut mata anak panah yang kedua hingga
gigi depannya yang satunya patah juga. Sejak itu, Abu 'Ubaidah ompong gigi
depannya.
Dalam perang Dzatus Salaasil, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam menugaskannya memimpin pasukan para shahabatnya (diantaranya Abu Bakar
dan Umar) sebgai bala bantuan untuk Amru bin Ash. Setibanya pasukan itu, Amru
berkata kepadanya, "Ya Aba 'Ubaidah, kau didatangkan sebagai bala bantuan
untuk pasukanku".
Abu 'Ubaidah menjawab, "Tidak.. Aku dengan pasukanku dan
kamu dengan pasukanmu, masing-masing memimpin pasukannya".
Amru bin Ash menolak adanya banyak pemimpin, ia tetap
menganggap pasukan Abu 'Ubaidah yang baru datang itu harus ada di bawah
pimpinannya sebagai bala bantuan.
Abu 'Ubaidah berkata, "Ya Amru, Rasululllah Shallallahu
'alaihi wasallam melarangku , kalian berdua jangan berselisih!. Apabila engkau
membangkang kepadaku, biarlah aku yang patuh kepadamu!".
Alangkah indahnya kata-kata dan sikapnyaitu?".
Demikianlah, Islam berhasil menciptakan manusia model, insan
kamil yang diasuh Tuhannya, ruh dan kalbunya dimumikan dari sifat-sifat
kebumian dan keremehan manusiawi.
Alangkah jujurnya kata-kata itu dalam nilai kejantanan
seseorang, "kalau kau membangkang kepadaku, biarlah aku yang patuh
kepadamu", pada saat kepentingan jamaah kaum muslimin dan agama Islam
menuntut persatuan dan kekompakan.
Pada suatu waktu, datanglah perutusan dari Najran kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam meminta supaya bersama mereka dikirimkan seorang
agama, mengajarkan hukum-hukum syariat kepada mereka, dan merangkap sebagai
penengah (hakim) apabila terjadi perselisihan antara mereka.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berjanji kepada
mereka, "nanti malam, kalian datang kembali, aku akan mengirimkan bersama
kalian seorang yang terpercaya".
Umar ibnul Kaththab bercerita tentang hal itu, "aku
belum pernah ingin mendapatkan pangkat lebih dari itu apda waktu itu,
mudah-mudahan akulah orang yang dimaksudkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam itu, Aku pergi menantikan waktu zhuhur. Sesudah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam selesai shalat zhuhur, beliau menoleh ke kanan dan ke kiri
seperti ada yang dicari. Aku menjulurkan kepalaku supaya beliau melihatku,
tetapi beliau masih saja mencari hingga beliau melihat Abu 'Ubaidah ibnul
Jarrah, lalu beliau berseru: "kau pergi bersama mereka dan putuskan sengketa
yang terjadi antara mereka dengan sebenar-benarnya".
Demikian keterangan yang jujur dari Umar ibnul Khaththab.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Tiap-tiap umat memiliki orang kepercayaan dan kepercayaan umat ini adalah
Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah".
Tepat sekali sebda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
itu, ibnul Jarrah adalah seorang kepercayaan dalam akhlaknya, tidak seorang
muslimpun merasa dirugikan olehnya.
Ia kepercayaan dalam agamanya, ia berusaha keras menggalakkan
dakwah secara merata. Ia kepercayaan dalam memelihara batas-batas negara
sehingga semua pihak menghargai kewibawaan dan kekuasaannya.
Bagaimana tidak demikian, dia adalah salah seorang dari
sepuluh orang pertama yang masuk Islam dan salah seorang dari sepuluh orang
yang dinyatakan akan mendapatkan surga.
Sesudah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam wafat, banyak
orang yang datang hendak membaiat Abu 'Ubaidah menjadi khalifah, tetapi ia
menjawab, "apakah kalian datang kepadaku sedangkan di tengah-tengah umat
ini masih ada orang yang ketiga".
Yang ia maksudkan adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, sesuai dengan
apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kepada Abu Bakar di
Gua Hira', "Di waktu dia berkata kepada temannya,'janganlah kamu bersedih
hati, sesungguhnya Allah beserta kita". (Q,,s. at-Taubah: 40).
Pada waktu itu, Umar ibnul Khaththab radhiallâhu 'anhu
termasuk salah seorang yang datang kepadanya, seraya berkata, "ulurkan
tanganmu, aku akan membaiat kau, hai kepercayaaan umat, seperti yang dikatakan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ".
Abu 'Ubaidah, menjawab, "belum pernah aku meolihat kau
tergelincir seperti sekarang sejak engkau Islam. Apakah kau akan membaiatku,
sedangkan ash-Shiddiq, shahabat kedua Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
di Gua Hira', ada di tengah-tengah kita?".
Rupanya teguran Abu 'Ubaidah itu menyadarkan Umar. Ia lalu
mengirimkan orang untuk memanggil Abu Bakar di rumah Aisyah, Ummul Mukminin,
lalu ketiganya pergi ke Saqifah Bani Saa'idah. Setibanya disana, mereka
mendapatkan kaum Anshar sedang melakukan rapat. Abu Bakar bertanya keheranan,
"ada apa ini?".
Mereka menjawab, "dari kami diangkat amir dan dari
kalian juga diangkat amir".
Abu Bakar ash-Shiddiq berkata: "para amir dari kami dan
para wazir (menteri) dari kalian". Sambutnya lagi, "aku setuju kalau
kalian mengangkat salah seorang diantara dua orang ini; Umar ibnul Khaththab
dan Abu 'Ubaidah, kepercayaan umat ini".
Kedua orang itu menyatakan, "Tidak mungkin ada
seorangpun yang mengungguli kedudukanmu, ya Aba Bakar!". Keduanya lalu
membaiatnya.
Itulah para pengikut dan shahabat Muhammad, yang telah
mendapatkan gemblengan Al-Qur'anul Karim dan mendapatkan rintisan tata cara
hidup melalui petunjuk dan pengajarannya.
Suatu waktu, Umar ibnul Khaththab radhiallâhu 'anhu selaku
khalifah Islam mengangkat Abu 'Ubaidah menjadi komandan pasukan kaum muslimin
di Syam, menggantikan Khalid bin Walid . Pada waktu itu, Khalid sedang
ada di medan perang menggempur musuh-musuh Islam. Ia tidak segera
memberitahukan berita pengangkatannya dan pemecatan Khalid itu, sebagai
penghormatan dan penghargaan atas jasa-jasanya. Sesudah Khalid mendengar berita
pemecatannya dan pengangkatan Abu 'Ubaidah sebagai penggantinya maka dalam
serah terima jabatan itu, Khalid berkata, "kini, telah diangkat untuk
memimpin kalian kepercayaan umat ini, Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah".
Abu 'Ubaidah menyambut perkataan itu, "aku mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Khalid adalah salah
satu dari pedang-pedang Allah, ya pemuda idaman".
Itulah jabatan kepanglimaan, tetapi tidak menyombongkan
mereka. Itulah kepangkatan dan jabatan tinggi dunia, namun mereka tidak lupa
daratan karena risalah atau misi mereka terbatas dan tugas mereka jelas,
seperti yang dikatakan Rabi' bin Amir, "Allah telah mengirimkan kami untuk
mengeluarkan orang yang Dia kehendaki diantara hamba-hambaNya, dari mengabdikan
diri kepada hambaNya kepada pengabdian diri kepada Allah semata".
Kalau jabatan dan kepangkatan tidak bisa menggiurkan dan
menggugurkan mereka, begitu pula dengan bujuk rayu dunia lainnya.
Pada suatu waktu, Umar ibnul Khaththab mengirim uang kepada
Abu 'Ubaidah sebesar empat ribu dirham dan empat ratus dinar, lalu ia berpesan
kepada pesuruhnya, "perhatikan apa yang dilakukannya".
Sesudah uang itu dibagi-bagikan, pesuruh itu melaporkan
kepada khalifah Umar. Umar berkata: "Alhamdulillah, yang menjadikan dalam
kalangan kaum muslimin orang yang melakukan hal itu".
Ketika khalifah Umar datang ke negeri Syam, ia dijemput oleh
para perwira militer dan pejabat sipil. Ia bertanya, "mana
saudaraku?".
Mereka bertanya keheranan, "siapa dia, ya Amiral
Mukminin?".
Ia menjawab,"Abu Ubaidah".
Mereka menjawab, "Ia segera datang".
Tak lama, ia datang dengan menunggang seekor unta, lalu ia
memberikan salam kepada khalifah. Khalifah lalu memerintahkan para penyambutnya
pulang kembali dan membiarkannya bersama Abu 'Ubaidah. Keduanya pergi ke rumah
Abu 'Ubaidah. Setiba di sana, Khalifah Umar tidak melihat sesuatu apapun selain
pedang dan perisainya. Umar bertanya kagum, "mengapa kau tidak memiliki
sesuatu?".
Abu 'Ubaidah menjawab, "ya Amiral Mukminin, ini pun akan
menghantarkan kita ke tempat peristirahatan kita".
Umar tidak melihat perabotan dan perhiasan mewah di rumahnya
karena ia bukan seorang yang senang duduk-duduk di rumah, tetapi seorang
lapangan yang selalu memandang jauh kepada apa yang ada di balik kehidupan ini.
Adapun orang-orang yang suka bergelimang dalam kesenangan hidup, mereka sudah
terperangkap jaringan setan yang sulit untuk membebaskan dirinya. Dia tahu
menempuh jalan hidup dunia menuju perumahan kehidupan abadi di akhirat.
Kalau demikian watak keras dan kuat Abu 'Ubaidah menghadapi
kehidupan ini, mendalam pengertiannya menempuh hidup dan menghadapi orang
hidup, konsekuen mempertahankan kebenaran, maka dengan sendirinya ia tidak akan
sudi berkompromi dengan kebatilan dan bermanis-manis dengan kecurangan, tidak
peduli kedudukan dan asal-usul seseorang yang dihadapannya.
Pada suatu hari, Jabalah ibnul Aiham, raja Ghassan, masuk
Islam, sesudah menerima baik surant Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
yang mengundangnya untuk menganut agama itu. Pada suatu waktu ia berjalan di
pasar kota Damaskus, tiba-tiba kakinya menginjak kaki Muzniah, lalu ia langsung
menampar Jabalah. Muzniah lalu digiring kepada Abu 'Ubaidah untuk diadili.
Mereka berkata, "tuan Hakim, orang ini telah menampar raja Jabalah".
"Dia harus ditampar
juga!".
"Apa tidak dibunuh?".
"Tidak".
"Apa tidak dipotong tangannya?".
"Tidak, Allah hanya memerintahkan dilakukan qishash, ditindak sama dengan
perbuatannya".
Jabalah berkata, "apakah kalian mengira aku mau
menjadikan wajahku perumpamaan bagi wajah nenek moyangku?". Ia lalu meurad
kembali menjadi Kristen dan pergi menyeberang bersama kaumnya ke negeri Romawi.
Negeri Syam hamnpir seluruhnya ditaklukkan, tinggal beberapa
buah benteng musuh yang masih dipertahanka. Ketika pasukan Islam di bawah
pimpinan panglimanya, Abu 'Ubaidah, hendak memulai pertempuran baru untuk
merebut benteng-benteng yang masih dipertahankan musuh itu, tiba-tiba terjadi
serangan penyakit menular hebat di kalangan pasukan kaum muslimin.
Mendengar
berita mengerikan itu, Khalaifah Umar ingin menyelamatkan Abu 'Ubaidah dari
cengkeraman maut itu, lalu ia menulis surat memerintahkan supaya ia keluar dari
negeri itu. Isi surat itu antara lain:
"Salam sejahtera kepadamu. Lain dari itu, akau ingin
menawarkan sesuatu kepadamu, harapanku apabila engkau menerima suratku ini
supaya lekas-lekas datang menghadapku !".
Abu 'Ubaidah paham maksud Khalifah itu, lalu ia membalasnya,
"Ya Amiral mukminin, aku sudah paham maksudmu. Aku ada
di tengah-tengah pasukan kaum muslimin, tidak bermaksud mengutamakan
keselamatan diri atau memisahkan diri dari mereka, hingga Allah menentukan apa
yang Dia kehendaki terhadapku dan mereka, dan bebaskanlah aku dari tawaran dan
harapanmu itu!".
Abu 'Ubaidah rahimahullah wafat karenba penyakit
menular itu pada tahun 18 H dalam usia 58 tahun.
Khalifah Umar radhiallâhu 'anhu berkata, "Kalau usia Abu
'Ubaidah lanjut, akau akan mengangkatnya menjadi penerusku. Kalau Allah
bertanya, atas dasar apa kau mengangkatnya, aku akan menjawab, "aku pernah
mendengar Nabi-Mu mengatakan "Dia kepercayaan Umat ini".
Sebab Turunnya Ayat
Firman Allah,
"Kamu tidak akan menemukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan RasulNya, sekalipun orang itu ayah-ayah, atau anak-anak, atau
saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah
telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan dariNya…". (Al-Mujaadalah: 22).
Dikatakan diturunkan berkenaan dengan Abu 'Ubaidah ibnul
Jarrah radhiallâhu 'anhu ketika ia membunuh ayah kandungnya dalam perang Badar.
Ada lagi sebagian ahli tafsir yang mengatakan bahwa
ayat tersebut diturunkan kepada sekelompok orang Islam pertama, yang mengatakan
dengan tegas bahwa ikatan aqidah bagi mereka lebih utama daripada ikatan
keturunan dan keluarga. Bagi mereka, ikatan aqidah merupakakn ikatan berbagai
macam warna kulit, bangsa dan kedudukan, dihimpun dalam suatu kekeluargaan yang
saling mengasihi dalam wadah umat, di bawah pimpinan Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam dan bimbingan kalamullah:Al-Qur'anul Karim.
Mereka mengatakan juga bahwa firmanNya,"….sekalipun
orang itu ayah-ayah…", diturunkan berkenaan dengan Abu 'Ubaidah ibnul
Jarrah ketika ia membunuh ayah kandungnya sendiri, dan kalimat "…..atau
anak-anak…." Diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallâhu
'anhu ketika ia mengejar anaknya sendiri, Abdurrahman bin Abu Bakar, hendak
membunuhnya; dan kaomat, "…ataupun keluarga mereka…."diturunkan
berkenaan dengan Umar ibnul Khaththab radhiallâhu 'anhu yang membunuh
keluarganya sendiri dalam perang itu. Juga diturunkan berkenaan dengan Hamzah
bin Abdul Muththalib, Ali bin Abi Thalib dan 'Ubaidah ibnul Harits, semuanya
telah bertarung dalam perang itu dan membunuh keluarganya sendiri, antara lain:
Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, dan al-Walid bin Utbah.
Sebagai pelengkap dari ketegasan sikap iman kaum muslimin
itu, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bermusyawarah dengan para
shahabatnya tentang tindakan yang kan dilakukan terhadap para tawanan perang
Badar itu, Abu Bakar ash-Shiddiq mengusulkan, "mereka diberi kesempatan menebus
dirinya, untuk memperkuat dana perjuangan kaum muslimin dan juga mengingat
mereka masih merupakan sanak keluarga. Diharapkan, sikap lunak itu akan
menggugah hati mereka menemukan hidayah Allah".
Umar ibnul Khaththab radhiallâhu 'anhu berpendapat, "aku
tidak sependapat dengan yang lain, ya Rasulullah! Berikanlah kesempatan
kepadaku membunuh keluargaku sendiri. Ali sudah berhasil membunuh saudaranya
sendiri, Aqil. Si fulan sudah membunuh keluarga kaaribnya sendiri untuk
dibuktikan kepada Allah bahwa dalam hati kita tidak terdapat lagi keakraban dan
rasa kasihan dengan kaum musyrikin".
Setelah percakapan itu, turunlah ayat tersebut.
Renungan
Dalam waktu relatif singkat, Islam berhasil memurnikan
kejiwaan umat Islam dan menghilangkan cemar dan kotoran yang semula bermukim
dalam batinnya, sehingga ia menjadi manusia baru, tidak berbohong, tidak
mencuri, tidak berzina, tidak berkhianat, tidak curang, tidak suka memata-matai
orang lain, ikhlas kepada aqidahnya lebih dari ikhlashnya kepada dirinya, patuh
kepada perintah Allah dan RasulNya, setia kawan dan cinta kepada sesama
saudaranya dalam Islam lebih dari setia kawannya terhadap keluarga dan kerabat
sendiri, selama mereka tidak Islam.
Ketika firman Allah dalam surah at-Taubah ayat 24
diturunkan (Katakanlah, 'jika ayah-ayah, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalannya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan, Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang fasiq'). Sejak itulah kaum Muslimin mengesampingkan
semua kelezatan. Kelemahan insani terhadap ayah, anak, isteri, keluarga, harta
kekayaan dan semua tuntutan hajat kemanusiaan, mereka letakkan semua itu diatas
piring timbangan; kecintaaan kepada Allah, RasulNya, dan jihad di jalan Allah,
mereka letakkan diatas piring timbangan yang lain. Ternyata, kecintaan mereka
lebih berat kepada yang kedua. Dengan sendirinya, jiwa mereka menjadi terhormat
dan meningkat, tidak suka bergelimang dengan nafsu hewani dan melepaskan diri
dari keterikatan sifat bumi.
Berikut ini contoh-contoh yang kami kutip dari sejarah
kaum muslimin.
1. Umar bin Sa'ad diasuh oleh bapak tirinya, Jullas bin Suwaid
ibnush Shamit, setelah ayahnya wafat.
Pada suatu hari, ia mendengar Jullas menyerang Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam dengan kata-kata yang pedas, lalu ia menegur ayah tirinya itu,
"Demi Allah, ya Jullas, engkau orang yang paling aku cintai, orang yang
paling murah hati dan orang yang paling aku sayang jangan sampai terkena
malapetaka. Akan tetapi, engkau mengatakan kata-kata yang menyakitkan hatiku.
Kalau aku melawanmu, itu akan membuat kamu malu, tapi kalau aku diam, agamaku
akan rusak dan kedua-duanya berat bagiku…"
Ia lalu meninggalkan rumahnya, pergi kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam dan memberitahukan soal Jullas kepada beliau. Demikianlah ia
memenangkan ikatan agama diatas ikatan kekeluargaan dan dunia, meskipun ia
menghadapi risiko kekurangan dan kelaparan.
2. Ketika Zaid bin Datsinah hgendak dibunuh oleh kaum Quraisy,
Abu Sufyan bin Harb menawarkan pembebasan kepadanya, "aku mengharap kau
menjawab karena Allah, ya Zaid! Apakah kau senang sekiranya Muhammad ada disini
menggantikan tempatmu dan kami penggal batang lehernya sedangkan kau akan kami
bebaskan tinggal bersama keluargamu?".
Zaid menjawab dengan tegas, "Demi Allah, aku tidak suka Muhammad
Shallallahu 'alaihi wasallam terikena tusukan sebuah duri sekalipun dan kau
bebas di tengah-tengah keluargaku".
Komentar Abu Sufyan kepada kawan-kawannya, "aku belum pernah melihat
seseorang yang mencintai orang lain seperti para shahabat Muhammad kepada
Muhammad".
Kemudian mereka membunuh Zaid . Zaid syahid, namun, "sekolah
keimanan" berhasil mengeluarkan ribuan kaum muslimin yang men cintai agama
dan RasulNya lebih dari dirinya sendiri.
3. Dalam sebuah pertempuran, seorang Anshar bertengkar dengan
seorang Muhajirin, lalu Abdullah bin Ubay, tokoh tertinggi kaum munafik,
mengancamnya, "kalau kami kembali ke Madinah kelak, orang yang merasa
dirinya terhormat akan diusir keluar oleh orang yang dihinakannya".
Banyak orang Islam menawarkan diri untuk membunuh Abdullah bin Ubay, tetapi
Rasulullah selalu menolaknya. Sabdanya kepada Umar ibnul Khaththab, "ya
Umar, bagaimana kata bangsa Arab kelak, Muhammad membunuh shahabatnya
sendiri".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lalu memanggil putra Abdullah bin Ubay
seraya bertanya, "apakah kau mendengar apa yang dikatakan ayahmu?".
Ia balik bertanya keheranan, "apa katanya, ya Rasulullah?".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Dia mengatakan, 'kalau
kami kembali ke Madinah kelak, orang yang merasa dirinya terhormat akan diusir
keluar oleh orang yang dihinakannya".
Ia lalu berkata dengan gusar, "Allah dan RasulNya Maha benar, dan engkau,
ya Rasulullah, demi Allah adalah orang terhormat dan mulia, dan dia adalah
orang yang terhina. Sebenarnya penduduk kota Yatsrib tahu bahwa tidak seorang
pun yang paling kasih sayang kepada kedua orang tuanya lebih dari aku, namun
kalau Allah dan RasulNya menghendaki, aku siap membawa kepala keduanya
kesini".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : "jangan!".
Ketika pasukan kembali ke Madinah, Abdullah bin Abdullah bin Ubay berdiri di
pintu masuk kota Madinah dengan pedang terhunus, menantikan kedatangan ayahnya,
seraya berkata, "ayahkah yang mengatakan, kalau kami kembali ke Madinah
kelak, orang yang merasa dirinya terhormat akan diusir keluar oleh orang yang
terhina? Demi Allah, kini, ayah akan mengetahui apakah orang yang terhormat itu
ayah atau Rasulullah. Demi Allah, aku tidak akan memperkenankan ayah masuk kota
kecuali dengan izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam …".
Abdullah bin Ubay melaporkan hal itu kepada kabilahnya, al-Khazraj,
"anakku melarangku kembali ke rumah!". Ia mengulang kata-katanya
dengan sedih.
Berdatanganlah kaum muslimin kepada sang putra Abdullah bin Ubay supaya ia
memperkenankan ayahnya masuk kota dan kembali ke rumahnya. Akan tetapi, ia
malah bersikeras, "Demi Allah, dia tidak akan bisa masuk kota Madinah
kecuali dengan izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ".
Beberapa orang mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan
memberitahukan peristiwa tersebut. Rasulullah bersabda, "pergilah dan
katakan kepadanya supaya ayahnya dibiarkan kembali ke rumahnya!".
Sesudah ia mendengar perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berulah
ia membiarkan ayahnya masuk ke dalam kota dan kembali ke rumahnya, seraya berkata,
"kalau perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengizinkan ia
masuk, baiklah!".
Kejadian semacam itu tidak hanya terjadi di kalangan kaum lelaki saja, tetapi
di kalangan kaum perempuannya juga.
4. Pada suatu waktu, Abu Sufyan pergi ke Madinah karena ada
suatu urusan dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam . Ia pergi menemui
puterinya yang juga isteri Rasulullah, Ummu Habibah. Setiba di sana, ia hendak
duduk diatas sebuah permadani, tetapi Ummu Habibah menarik dan melipatnya. Abu
Sufyan keget dan gusar, "puteriku! Aku tidak mengerti, apakah kau lebih
menghargai ayahmu atau permadani itu?".
"Bukan begitu, Ia permadani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan
ayah seorang musyrik dan najis", jawab Ummu Habibah.
Begitulah sikap wanita muslimah terhadap ayahnya sendiri, dihadapi dengan
kata-kata benar dan tegas, menggugurkan pribahasa "semua wanita kagum pada
ayahnya".
Ia tampar hakikat sikap ayahnya; orang-orang yang musyrik itu najis
"at-Taubah:28).
Jadi, selama ia tetap pada sikapnya, tidak mungkin ia menyentuh permadani itu,
apalagi duduk diatasnya, meskipun ia bernama ayah yang memiliki berbagai hak
dan kewajiban utama.
Bukan semata-mata cinta, bukan hanya penghormatan dan sopan santun di depan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang mereka berikan karena beliau telah
mengeluarkan mereka dari kegelapan kekafiran menuju cahaya keimanan, berjasa
membebaskan mereka dari penyembahan berhala kepada penyembahan Yang Maha Satu,
malah lebih hebat dari itu, mereka mempersembahkan nyawanya murah sekali demi
melindungi Rasulullah.
5. Dalam perang Uhud, Abu Dujanah menjadikan punggungnya sebagai
perisai, melindungi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dari serangan panah
musuh. Ia tidak bergerak sedikit pun hingga Rasulullah berhasil diselamatkan.
Apabila beliau selamat, mereka tidak mengindahkan apakah anak panah tersebut
mengenai perut atau punggungnya.
Itulah yang mereka lakukan terhadap Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam . Begitu pula mereka lakukan dalam membela agama, mereka tidak
mempedulikan apa pun selain ingin memenangkan agama itu, ingin meninggikan
kalimat Allah Ta'ala, berapapun harga yang harus dibayar. Apa yang terjadi
dalam perang Badar adalah suatu bukti kesetiaan mereka terhadap agamanya,
meskipun harus berhadapan dengan ayah, anak, saudara dan keluarga demi
mempertahankan prinsip.
Abu Bakar ash-Shiddiq di barisan kaum muslimin, sedangkan
putranya, Abdurrahman, di pihak kaum musyrikin; begitu pula Utbah bin Rabi'ah
bersama kaum Quraisy, sedangkan putranya, Abu Huzaifah, bersama kaum muslimin.
Abdurrahman bin Abu Bakar berkata kepada ayahnya sesudah
masuk Islam, "ayah selalu mengincarku dalam perang Badar dan aku selalu
mengelak".
Ayahnya menjawab, "Demi Allah, kalau aku bertemu dengan
kau, aku tidak akan mengelak".
Dalam peperangan ini, Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah membunuh ayah
kandungnya. Bukan karena ia ingin membunuh ayah kandungnya, tetapi karena ia
seorang musyrik. Ketika ia mengayunkan pedangnya, seolah-olah ia menebas
dan menumbangkan sebuah patung berhala, menumpas kesesatan yang menguasai umat
manusia beberapa lamanya sehingga terjerumus mengabdikan diri kepada batu,
pepohonan, bintang, dukun, jin dan lain-lain, dan memperkenalkan keimanan yang
sebenarnya ke jalan yang menembus kalbu.
Kapan gerangan kaum muslimin melahirkan Abu 'Ubaidah baru,
yang menuympas fanatisme, berhalaisme dan memerangi ateisme, yang akan
melenyapkan jahiliah modern di abad XXI ini. Siapa gerangan orangnya yang akan
memainkan perannya dengan bimbingan Ilahi?.
No comments